'OM SWASTIASTU'

'OM SWASTIASTU'

Senin, 09 Januari 2012

“PEMBANGUNAN VILA DI SEKITAR PURA”

            Pura di Bali adalah sarana untuk mengembangkan daya spiritual melalui pemujaan terhadapat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Pemujaan itu bukanlah sekadar untuk memuja dan merengek-rengek pada Tuhan agar kita dilimpahkan berbagai kebutuhan hidup dengan mudah dan menyenangkan. Melainkan untuk membangkitkan daya spiritual agar menjadi kekuatan yang mendorong kecerdasan intelektual membangun kehalusan dan kepekaan emosional dalam menata hidup ini. Dengan struktur spiritual, intelektual dan emosional yang bersinergi itulah manusia dapat menikmati berbagai kesenangan dan kesejahtraan yang benar dan wajar.
            Pura itu memang bukan objek pariwisata, tetapi keindahan pura itu menimbulkan daya tarik pariwisata.
            Melihat hal tersebut maka banyak pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan pariwisata tersebut dengan mendirikan vila-vila, restauran siap saji, dan beberapa tempat lainnya disekitaran pura untuk kepentingan ekonomi pribadi.
            Hal ini dapat mengakibatkan polusi dan vibrasi negatif di sekitar pura. Kalau di sekitar pura sudah terjadi polusi dan vibrasi negatif karena terjadi berbagai kegiatan hidup yang tidak sesuai dengan norma agama yang diberlakukan di areal pura tersebut, apa lagi ditambah dengan lingkungan yang sudah terpolusi, dapat menyebabkan pura tidak lagi memancarkan kesucian dan kelestarian alam lingkungan.
            Keberadaan pura dengan lingkungannya hendaknya ditata sedemikian rupa sehingga dapat dihadirkan sebagai fasilitas spiritual yang memadai. Dengan demikian pura dengan fasilitas spiritualnya dapat memberikan kontribusi spiritual yang lebih dalam kepada mereka yang sedang menjadikan pura sebagai media untuk mengembalikan daya spiritualnya.
Untuk itu maka bhisama kesucian pura sangat di perlukan agar dapat menata, memantapkan, dan mengarahkan umat pada kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang. Bhisama merupakan keputusan Sabha Pandita yang disyahkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Bhisama Kesucian Pura tersebut dibuat dengan tujuan untuk menata keseimbangan perilaku manusia dalam memanfaatkan alam agar tidak semata-mata dijadikan sarana untuk kepentingan hidup sekala yang bersifat sementara. Pemanfaatan ruang di alam ini agar digunakan secara seimbang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersifat sekala dan niskala dengan landasan filosofi Tri Hita Karana.
Namun, banyak pihak-pihak tertentu menolak bhisama ini karena dianggap dapat menutup lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Padahal adanya bhisama radius kesucian Pura bagi Pura bukan menutup peningkatan lapangan kerja masyarakat, melaikan ini merupakan suatu upaya agar tidak merusak kesucian pura. Dimana dengan adanya bhisama ini pura tetap dapat memancarkan sinar sucinya dan serta dapat pula menjadi objek pariwisata di bali yang tentunya dapat menambah lapangan pekerjaan juga bagi masyarakat.
Yang seharusnya dibangun di sekitar pura seperti dharmasala dan pasraman dan bangunan-bangunan lainnya yang berfungsi untuk lebih mengeksistensikan keberadaan pura sebagai media untuk menguatkan aspek spiritual umat. Dharmasala adalah bangunan sebagai tempat menginap umat yang dari jauh yang ingin mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di pura bersangkutan. Dharmasala ini dalam sistem pengelolaannya dapat saja memungut biaya kepada umat yang menginap sebagai biaya untuk memberikan pelayanan kepada umat bersangkutan. Dharmasala bukanlah hotel sebagai tempat penginapan umum. Yang boleh menginap di dharmasala adalah mereka yang khusus akan mengikuti berbagai kegiatan keagamaan di pura bersangkutan seperti umat yang sedang melakukan kegiatan tirta yatra, dan lain sebagainya. Sedangkan pasraman adalah suatu fasilitas yang menyediakan fasilitas pendidikan kerohanian untuk menyiapkan umat yang akan mengikuti berbagai kegiatan di pura bersangkutan seperti toko-toko buku agama, perpustakaan pura, dan tempat pelatihan yoga.
Di samping dharmasala dan pasraman dapat saja dibangun fasilitas lainnya di areal kesucian pura sepanjang hal itu menunjang eksistensi pura sebagai kawasannya sebagai media spiritual. Misalnya saja membuat kawasan penghijauan agar tanaman  yang subur dan lebat akan menghembuskan kesejukan dengan angin sepoi-sepoi dengan membawa oksigen yang melegakan pernapasan bagi semua makhluk hidup. Serta dapat juga di bangun pasar yang menjual berbagai jenis barang yang bernuansa budaya spiritual seperti tempat tirtha, pakaian adat Bali, berbagai sarana upacara, wayang atau lukisannya, japa mala sebagai sarana bermeditasi dan berbagai barang untuk mengembangkan budaya spiritual yang bernuansa kebudayaan Bali. Dapat juga dibangun rumah makan yang menjual makanan yang benar-benar sehat dan sesuai dengan agama.
Dengan demikian, maka sangat diperlukan perhatian dan ketegasan pemerintah untuk menertibkan para investor agar tidak membangun vila-vila di sekitar pura, namun para investor dapat membangun di area yang telah di tentukan.
Untuk Pura Sad Kahyangan itu yakni sekitar lima kilometer, Pura Dang Kahyangan berjarak kurang lebih dua kilometer, sedangkan untuk Pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya dengan jarak apenyengker.
Sehingga kesucian pura dapat dijaga baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka panjang. Serta generasi sekarang dapat memiliki komitmen spiritual untuk melanjutkan warisan leluhur yang amat mulia itu. Disamping itu pula hal ini juga dapat meningkatkan lapangan pekerjaan dan mengurangi polusi udara. Hal ini sesuai dengan konsep Tri Hita Karana


Referensi :
Ø  I Ketut Wiana, “Mengembangkan Pariwisata Spiritual”
Ø  http://www.bappedabangli.info/berita-selengkapnya.php?id=41
Ø  http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=826&Itemid=29
Ø  http://tabloidbaliaga.blogspot.com/2011/04/ketika-bupati-bertemu-gubernur-bahas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar